Saatnya 'CARE' pada Penderita Gangguan Jiwa |
|
|
|
KELUARGA menjadi tumpuan bagi seseorang ketika kejiwaannya sedang labil. Kasih sayang dan perhatian keluarga menjadi hal utama untuk proses penyembuhan bagi penderita gangguan jiwa tersebut. Sayangnya ketika salah seorang anggota keluarga bermasalah dengan kejiwaan justru dikucilkan. Seharusnya, keluarga mencarikan pertolongan untuk anggota keluarga tersebut, yaitu pertolongan yang sifatnya profesional, misal ke rumah sakit jiwa (RSJ) untuk berkonsultasi. Kini keluarga masih menganggap gangguan jiwa itu aib yang mesti ditutupi sehingga mereka cenderung menunda untuk berobat. Dalam hal ini, perlu dorongan keluarga agar si penderita bersedia berkonsultasi. Keluarga mempunyai andil penyembuhan 70%, selebihnya dengan pemberian obat. Ketika si penderita gangguan jiwa sudah melakukan rawat jalan atau inap di RSJ, keluarga harus tetap memberikan perhatian sesuai dengan petunjuk tim medis rumah sakit. Selama rawat jalan, keluarga harus memahami kondisi penderita dengan melakukan pemberdayaan, misal jangan mudah memarahinya jika salah, memandunya agar mandiri ataupun mengajarkan keterampilan sesuai dengan kemampuan. Kenyataannya, belum banyak keluarga memiliki kepedulian tentang ini. Banyak keluarga yang menyerahkan sepenuhnya penyembuhan penderita kepada petugas kesehatan. Banyak pasien sakit jiwa justru ditelantarkan keluarganya. Keluarga telah melupakan mereka. Banyak yang tidak mengurusnya lagi saat dimasukkan RSJ. Padahal, jika keluarga mereka rajin menengok, ini merupakan salah satu terapi yang jitu untuk kesembuhan mereka. Namun, jika keluarga mereka cuek, tingkat kesembuhan pasien makin lama karena pasien merasa tidak diperhatikan lagi keluarganya. Namun, adakalanya pasien tidak mau pindah dari RSJ lantaran ketika kembali ke masyarakat, justru masyarakat menolak kehadiran mereka. Masyarakat masih menganggap aib menerima kembali anggota keluarga "alumnus" RSJ. Akibatnya RSJ seakan-akan menjadi tempat pembuangan dan pengucilan bagi orang-orang yang pernah dirawat di sana. Orang yang mengalami gangguan kejiwaan selalu dipersamakan dengan "orang gila" yang harus diperlakukan kasar, dipasung atau tidak diperbolehkan melakukan interaksi sosial. Rasa malu yang sering menghantui benak keluarga korban itu, biasanya dimanifestasikan dalam bentuk perilaku di luar nalar. Paling praktis adalah menganggap mereka "sekadar" kerasukan makhluk halus. Mereka pun lantas mengesampingkan tindakan medis yang benar. Padahal, secara tidak sadar dengan cara ini keluarga telah memasung fisik dan hak asasi penderita, hingga menambah beban mental dan penderitaanya. |
Masih dipasung
Meskipun era globalisasi dan teknologi serba canggih, orang yang mengalami gangguan jiwa penangaannya masih dilakukan secara tradisional yakni dipasung, agar penderita tidak mengganggu lingkungannya.
Padahal tindakan itu sangat keliru, kolot dan bertentangan dengan HAM, jika cara itu dianggap sebagai salah satu terapi atau obat bagi orang yang mengalami gangguan jiwa. "Justru lewat pemasungan itu, penyakit si penderita malah akan menjadi semakin parah," tutur Direktur RSJ 'Bina Atma', Dr MadeWardani.
Dokter ahli medis yang mempunyai pengalaman dalam menangani pasien di RSJ Bangli menilai, di kalangan masyarakat Bali hingga kini masih berkembang pemahaman bahwa tindak pemasungan terhadap seorang penderita sakit jiwa merupakan sebuah upaya penyembuhan.
"Mereka menganggap melalui upaya pemasungan, lambat laun penyakit jiwa yang diderita seseorang secara perlahan akan sembuh," ujarnya. Munculnya anggapan itu berawal dari adanya penafsiran yang awam tentang seluk-beluk penyakit jiwa. Ada orang yang berpendapat bahwa dengan pemasungan atau tindak kekerasan lainnya, orang gila akan menjadi kapok.
Melihat keadaan seperti itu, sakit jiwa sering diterjemahkan sebagai suatu perbuatan atau pelanggaran, sehingga pelakunya harus dibuat jera atau kapok. "Padahal sesungguhnya tidak demikian. Memang sepintas seorang penderita jiwa bila dikerasi nampaknya nurut, namun itu bukan sebuah terapi penyembuhan," ujarnya ibu dari seorang putra.
MATARAM – Setahun terakhir, di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Nusa Tenggara Barat (RSJ NTB), terus meningkat kenaikan pasien rawat inap penderita gangguan jiwa mencapai 17,21 persen dan pasien rawat jalan rawat inap 22,93 persen. Dari keseluruhan kunjungan yang mencapai 9.206 orang, hampir separonya atau 48,29 persen adalah kelompok umur produktif 25- 44 tahun.
Hasil survey kesehatan mental rumah tangga menemukan bahwa 185 dari 1.000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejalan gangguan kesehatan jiwa. Gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas adalah 140 per 1.000 penduduk dan 5 -14 tahun adalah 104 per 1.000 penduduk.
Kepala RSJ NTB Elly Rosila Wijaya menjelaskan peningkatan penderita gangguan jiwa tersebut, dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Jiwa Se-Dunia, di Mataram, Jum’at (10/10). ‘’Mereka yang mengalami gangguan jiwa baru dibawa konsultasi setelah putus asa,’’ ujarnya kepada wartawan sewaktu menyampaik rilis di kantor Gubernur NTB.
Keluarga penderita yang sudah merasa putus asa, kebanyakan melakukan pemasungan. Hampir 103 kecamatan se-NTB terjadi pemasungan. Padahal semestinya penderita gangguan jiwa secepatnya melakukan konsultasi ke RSJ atau psikiater bukan mendatangi dukun yang diharapkan bisa menyembuhkannya.
Saat ini, di RSJ NTB rata-rata penderita yang melakukan rawat jalan 50 orang dan yang menjalani rawat inap sebanyak 50 orang sesuai tempat tidur yang terisi. Sebagian besar disebabkan oleh kemiskinan. Mereka sebanyak 70 persen merupakan pasien yang menggunakan fasilitas Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin, 15 persen didukung Asuransi Kesehatan Sosial untuk pegawai negeri sipil dan lainnya masyarakat umum.
MOJOKERTO, Praktik pemasungan terhadap orang yang dianggap menderita gangguan jiwa masih saja terjadi. Nur Kholis misalnya, pemuda di Desa Sugihan, Kecamatan Soko, Majokerto, Jawa Timur, itu dipasung warga setempat atas permintaan keluarganya. Nur Kholis dipasung karena sering disebutkan mengamuk dan hendak membunuh ayahnya.
Nur Kholis dipasung di belakang rumah orang tuanya. Selama dipasung, pemuda ini hanya diberi makan seadanya karena orang tuanya keluarga miskin. Nur Kholis sempat dibawa ke rumah sakit jiwa, namun karena tidak ada biaya pemuda ini terpaksa hanya dipasung.
Peran Perawat dalam Kasus di atas
PERAWAT, Dengan bantuan perawat, keluarrga diharapkan mempunyai kemampuan mengatasi masalah dan memelihara stabilitas dari status kesehatan semaksimal mungkin. Newman menjelaskan strategi intervensi perawatan keluarga yang lebih berfokus pada prevensi primer dan tersier.
Proses perawatan yang melibatkan klien dan keluarga akan membantu proses intervensi dan menjaga agar klien tidak kambuh lagi setelah pulang. Keluara merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali. Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemapuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah. `
Dalam kasus pemasungan yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia sering dikarenakan tindak kekerasan yang dilkukan klien dan faktor ekonomi keluarga yang tidak bisa membawa berobat ke RS jiwa.
Namun, yang sangat disayangkan tindak kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa hingga kini masih cukup banyak terdapat di masyarakat.
Jangankan kekerasan, tindak tanduk atau ucapan yang dapat memojokkan seorang penderita jiwa sekalipun, merupakan 'baksil' yang ganas bagi si penderita. Ia menyebutkan, banyak pasien yang kembali berobat karena mereka tidak kuat mendapat 'ledekan' di masyarakat.
Masyarakat umumnya belum siap menerima kehadiran seseorang yang pernah mengalami gangguan jiwa, akibatnya pasien RSJ yang sesungguhnya sudah kembali sembuh, kemudian harus berobat dan dirawat kembali di rumah sakit.
Kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia kini sangat rentan terjadi gangguan kejiwaan, sedangkan payung hukum untuk melindungi hak-hak pasien sama sekali tidak memadai. Bahkan, perlindungan terhadap pasien gangguan kejiwaan jauh lebih buruk jika dibanding dengan perlindungan hukum terhadap satwa langka.
Akibatnya sangat fatal. Korban yang tadinya hanya mengalami gangguan kejiwaan ringan dan mudah disembuhkan, akhirnya dibiarkan berlama-lama dan benar-benar menjadi gila dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Hampir seluruh rumah sakit jiwa di Indonesia terpaksa merawat pasien sampai 10 tahun dan terkadang tidak mengetahui alamat asalnya karena ditinggalkan begitu saja oleh keluarganya.
Masyarakat luas seharusnya dapat memberlakukan orang berpenyakit jiwa sebagai teman atau saudaranya sendiri, tanpa harus melakukan sikap sinis tertentu terhadap mereka.
Di sini perlu adanya pemahaman yang lebih kepada masyarakat agar bisa menghargai dan membantu proses penyembuhan klien. Perawat atau petugas kesehatan yang lain harus berperan aktif dalam memberikan pendidikan kepada keluarga dan masyarakat.
Tidak hanya masyarakat, petugas kesehatan yang bertanggung jawab dalam masalah ini tapi juga pemerintah yang selaku pembuat kebijakan juga harus berperan aktif dengan memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan kekerasan atau tindakan asusila kepada orang dengan gangguan kejiwaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar